Air Mata Ibu
oleh: Mairi Nandarson

Ibu menangis. Air mata mengucur di pipinya yang cekung. Ketika itu aku baru
selesai berdzikir setelah mengimaminya. Tasbih di tangannya terus berputar,
bersama dzikir yang terus terlantun dari bibirnya. Ibu khusyuk dalam isak
dan deraian air mata.

"Kenapa Ibu menangis?" pertanyaan itu terpaksa kusimpan. Aku tidak akan
mengganggu Ibu yang masih khusyuk dengan dzikir. Aku memikirkan berbagai
kemungkinan penyebab menangisnya Ibu. Mungkinkah kematian Bapak?

Tapi, bukankah kematian Bapak sudah lama sekali? Sudah lima tahun. Atau
karena tanah kuburan Bapak yang tidak mendapat izin untuk dibeton dan hanya
boleh didirikan batu nisan. Hal itu tidak akan membuat Ibu menangis. Aku
sangat mengenal Ibu. Ibu paling tidak menyukai hal-hal yang berbau
kemewahan. Ibu selalu ingin menginginkan kesederhanaan.

Kenapa Ibu menangis? Sayang aku sangat jarang pulang dan tidak bertemu Ibu
setiap hari. Hingga aku kurang mengetahui keadaan Ibu belakangan ini.
Mungkin ada suatu persoalan yang membebaninya....

Bertengkar dengan seseorang? Ah rasanya tidak. Setahuku Ibu tidak punya
musuh. Ia selalu mengalah setiap kali berbenturan dengan orang lain. Ibu
lebih banyak diam daripada mengomel. Tidak mungkin rasanya Ibu bertengkar
dengan orang lain, karena memang itu bukan kebiasaan Ibu.

Tapi kenapa Ibu menangis? Ibu belum juga selesai berdzikir. Aku sudah
selesai sejak lima menit lalu. Aku sudah berdoa, mohonkan ampun atas dosa
Ibu dan Bapak yang telah mengasuhku sejak kecil. Ibu belum juga usai.

Aku berdiri dan meninggalkan Ibu sendirian di ruang shalat dengan tetap
menyimpan pertanyaan, kenapa Ibu menangis? Kutunggu Ibu di ruang makan.
Bukankah Ibu selalu khusyuk dalam shalat? Kembali aku dibayang berbagai
kemungkinan. Bukankah Ibu tidak pernah lupa mendirikan shalat, mengaji dan
berdzikir? Bukankah Ibu paling senang mendengarkan ceramah di masjid?
Bukankah Ibu juga tidak melewatkan acara wirid? Bukankah Ibu sudah cukup
punya bekal untuk menghadapi segala cobaan...

Tapi kenapa Ibu sampai menangis?
Karena aku mengimami Ibukah? Mustahil! Bukan sekali ini saja aku mengimami
Ibu. Sudah berulang kali.
Hampir setiap kali pulang ke rumah aku mengimami Ibu, terutama saat shalat
maghrib dan isya.
Ibu sudah berumur tujuhpuluh tahun lebih. Tujuh orang anak merupakan berkah
yang selalu disyukurinya dan kami semua kini sudah besar. Aku yang bungsu
sudah duduk di perguruan tinggi. Aneh rasanya kalau Ibu masih bersedih hati
diusianya yang senja ini. Seharusnya Ibu banyak tertawa dan bercanda
bersama cucu-cucunya. Bukankah cucu-cucunya selalu bersamanya setiap hari?

"Sudah makan Yung?" tanya Ibu mengagetkanku. Ibu muncul dengan senyum
mengembang. Tak kulihat bekas tangisan di wajahnya. Mungkin sudah dihapus.
"Belum Bu, Ayung menunggu Ibu."
"Ibu sudah makan."
"Kapan? Bukankah hidangan ini belum disentuh siapapun? Ayolah Bu,
Ayung sudah rindu ingin makan bersama Ibu."
"Makanlah!" kata Ibu sambil menarik kursi. Aku pun mulai menyanduk nasi dan
mengambil beberapa sendok sambal. Tapi Ibu tetap saja tidak makan nasi. Ia
hanya mengambil panganan dan memakannya."Bagaimana kuliahmu?"
"Alhamdulillah Bu, berkat doa Ibu."
"Belanja harianmu bagaimana?" pertanyaan yang tidak pernah kuinginkan ini
selalu meluncur dari bibir Ibu. Pertanyaan itu kurasakan bagai keluhan
dalam hidup. Kuakui selama kuliah aku harus berusaha dan bekerja keras
untuk memenuhi kebutuhanku sehari-hari. Uang kost, transport dan kebutuhan
kuliah.

Memang, yang namanya usaha kadang-kadang dapat, kadang tidak. Ketika dapat
alhamdulillah. Aku bisa makan dan membeli kebutuhan lain. Jika tidak, maka
mau tidak mau aku aku harus puasa. Hal ini yang sering aku alami. Tapi
persoalan ini tidak pernah kuceritakan kepada siapapun, termasuk Ibu dan
saudara-saudaraku. Aku takut terlalu banyak mengeluh. "Alhamdulillah, Tuhan
masih memberikan rejeki Bu," selalu kujawab begitu.

Biasanya Ibu tidak akan bertanya lagi setelah itu.
"Bu!" sapaku ketika Ibu terdiam.
"Mmm," jawab Ibu.
"Kenapa seusai shalat tadi Ibu menangis?" Ibu terdiam mendengar
pertanyaanku.
"Ayung cemas melihat Ibu menangis.
Ibu masih diam. Aku menyelesaikan suapanku, setelah itu membasuh tangan dan
melapnya dengan serbet. Ibu masih diam, tapi di matanya kulihat airmata
mulai berlinang. Setelah itu berceritalah Ibu. Seminggu yang lalu di surau
Balenggek tempat Ibu selalu sembahyang berjama'ah, ada ceramah agama
mingguan. Ketika itu penceramahnya datang dari luar daerah. Ibu mengikuti
ceramah tentang anak yang berbakti kepada orang tua dan anak yang shalih..

"Anak-anak yang shalihlah yang menyelamatkan orang tuanya dari api neraka,
karena doa anak yang shalih sangat didengar oleh Allah swt," kata ustad. "
Tapi sebaliknya orang tua tidak selamat dari api neraka jika anak yang
dididiknya tidak mampu menjalankan ibadah dan tidak pandai membaca Alquran.
"Walaupun orang tuanya sendiri taat beribadah?" tanya Ibu waktu itu.
"Ya, apa artinya kita taat tapi tidak membuat anak taat kepada Tuhannya.
Apalagi sampai tidak bisa sembahyang dan mengaji, anak yang jauh dari
perintah Allah dan mendekati laranganNya. Maka orang tuanya di akhirat akan
ditanya tentang anak-anaknya. Maka sia-sialah ketaatan orang tua jika di
akhirat nanti anak mengakui dirinya tidak dididik oleh orang tuanya untuk
taat beribadah. Tidak pernah menegur, memukul bahkan menamparnya, jika
lalai menjalankan perintah agama."

Ketika itu Ibu menyadari apa yang sudah dilakukannya selama ini. Ibu ingat
Jai, Jou, Han dan Fai. Saat itulah Ibu merasa hidup dan ketaatannya selama
ini tak berarti sama sekali. Sejak itu Ibu banyak diam dan melamun.
Anak-anaknya sampai sekarang tidak pernah membaca Alquran di rumah dan
jarang sembahyang, bahkan tidak pernah sama sekali.

Ibu merasa bersalah setelah mendengar ceramah itu. Ibu menyadari bahwa ia
tidak mendidik anak-anaknya sesuai ajaran agama. Ibu selalu tidak tega
memarahi anaknya, dan melihat anaknya menangis, apalagi kalau ada yang
murung dan kesal.

Mungkin itulah sebabnya anak-anak Ibu banyak yang tidak dapat membaca
Alquran Ibu tidak pernah tega memaksa mereka untuk belajar Ibupun tidak
marah. Bukankah ini berarti Ibu tidak sanggup mendidik anak. Bukankah Ibu
gagal menjadi orang tua?

"Tapi Bu, bukankah Ayung selalu taat sembahyang dan membaca Alquran? Dan
Ayung selalu berdoa untuk Ibu dan Bapak? Lantas apa artinya usaha Ayung
selama ini Bu?" kataku kepada Ibu.
"Terima kasih Yung, Ibu sangat bangga padamu. Ibu senang kamu mampu menjadi
imam untuk Ibu. Ibu pun selalu berdoa untukmu. Yang Ibu pikirkan adalah
kakak-kakakmu yang tidak mampu membaca Alquran dan tidak menjalankan
shalat."

Kuakui selama ini memang hanya aku dan ibu yang shalat berjama'ah, walaupun
sebenarnya kakak-kakakmu sedang berada di rumah. Mereka lebih suka duduk di
lapau dan sepertinya tidak menghiraukan panggilan azan yang berkumandang
dari masjid. Dan Ibu tidak pernah menegur hal itu. Aku pun tidak pernah
mempersoalkan mereka. Sementara aku merasa takut, selain karena lebih kecil
juga karena aku takut mencampuri urusan mereka.

"Itulah Yung. Ibu merasa sedih. Kamulah satu-satunya anak Ibu yang taat,
yang mengimami Ibu, walaupun kamu yang terkecil. Entahlah.. Ibu sudah
semakin tua, ajal sudah di ambang pintu. Ternyata Ibu masih meninggalkan
banyak pekerjaan yang tidak selesai, ternyata Ibu tidak mampu mendidik
kalian dan kalian ternyata tidak bisa mendidik diri sendiri," kata Ibu
terisak.

Air mataku mengalir tanpa terasa.
"Ada apa? Kok Ibu menangis? Ini pasti ulah kamu Yung! Kamu tidak
henti-hentinya membuat Ibu sedih, dan menangis. Tahukah kamu bahwa membuat
orang tua bersedih hatinya itu dosa?" Tiba-tiba Han kakakku yang nomor tiga
datang dan memarahiku.

"Sebagai anak laki-laki kamu jangan terus-terusan bersama Ibu, itu cengeng
namanya. Lihat tuh di lepau orang-orang ramai. Duduklah di sana biar orang
tahu bahwa kita bermasyarakat. Bukan dalam rumah," katanya lagi sambil
menekan kepalaku.

"Jangan kasar begitu pada adikmu Han. Ia kan baru sele...," "Kalau tidak
seperti itu, ia akan lembek seperti perempuan Bu, yang duduknya cuma di
dapur."
"Tapi ia kan masih kuliah."
"Aah. Ibu selalu membelanya, mentang-mentang ia kuliah. Walaupun Han tidak
pernah kuliah, Han ini anak Ibu. Sekurang ajar apapun aku yang melahirkan
Han adalah Ibu. Tapi kenapa dia, Ibu perlakukan berbeda dengan Han?"

Han menunjuk-nunjuk diriku. Mendapat serangan kata-kata seperti itu, Ibu
menangis lagi. Aku hanya
terdiam terpana ketika Han kemudian berlalu dan tidak menghiraukan tangis
Ibu.

Air mata Ibu mengalir lagi. Ingin aku menghapusnya, tapi bagamana dengan
kesedihannya? Allahummaghfirli waliwalidayya warhamhuma, kamarabbayana
saghiraa. Amin. Hanya itu yang mampu kulakukan.