MENUNGGU KERETA

sumber Majalah Annida

Minggu pagi, hujan turun lebat. Seperti yang kuduga, tak ada orang di
sekitar tebing mengapit rel kereta. Aku tak tahu apakah aku harus murung
atau merasa lega. Kutarik nafas dalam dalam. Kulihat Arlojiku. pukul 5.20.
empat puluh menit lagi.

Sudut mataku menangkap sesosok tubuh yang tersuruk suruk menerobos semak
semak yang memagari jalan setapak dari puncak tebing. Kedua tangannya
terulur ke depan seperti mencari pegangan. Lalu tiba tiba aku sadar, ia
buta. Sedang apa orang buta di situ pagi pagi begini ? Kalau ia tidak hati
hati, ia bisa tergelincir di tanah yang licin itu dan jatuh melewati semak
semak di dinding tebing, ke rel ke rel kereta di bawah sana. Segera aku
bergerak menghampirinya.

"Dik," panggilku. "Jangan ke sana!"

Ia berhenti dan berbalik. Dugaankau benar ia buta. kedua matanya tertutup,
dengan kelopak yang sedikit tenggelam ke dalam rongga matanya, seperti tak
ada lagi di sana sepasang bola mata.

"Siapa itu?". Hardiknya.

Jangan ke situ, dik," Ulangku. "Licin. Nanti kau bisa jatuh ke rel kereta
sana."

"Siapa kau!" tuntutnya lagi.

"Orang lewat," sahutku, sedikit tersinggung dengan ketusnya suara anak itu.

"Jangan sok mengatur!" bentaknya lagi.

"Terserah kalau kau mau mati," aku sudah mulai tidak menyukai anak muda itu.
Orang mau menolong kokmalah di bentak bentak.

"Ya!" katanya tiba tibah. "Aku memang mau mati! Jadi jangan ganggu aku!"

Aku tersentak, tertegun. Bunuh diri ? Ia mau bunuh diri ?

"Dan jangan coba coba menahanku! Tidak ada yang bisa menghalangiku!"

Aku makin terpaku. Terkejut. Bingung. Dan terpesona. Apa yang membawa anak
buta itu ke sini, mempertemukanku dengannya pada saat saat tergenting dalam
hidupnya ? dan hidupku.

"Kau... kau masih..." is terdengar ragu sekarang, rapuh. Mungkin
kegalakannya tadi hanya sebuah cangkang yang dibuatnya untuk melindungi
kelemahannya. Seperti kemarahanku pada Astuti istriku jika ia tidak segera
datang saat kupanggil, seperti kekasaranku padanya tiap kali kelemahanku
membuatku prustasi.

"Aku masih di sini." jawabku. "Kau tidak keberatan kan. Aku... aku janji aku
tidak akan mengalangi niatmu."

Ia berbalik memunggungiku. Dari belakang, dengan kemejanya yang basah kuyup
diguyur hujan melekat ke tubuhnya. Ia kelihatan sangat kurus dan mengibakan.

"Terserahlah." Sahutnya. "Aku akan mendengar kalau kau pergi memanggil orang
lain dan aku akan loncat ke bawah, walaupun kereta belum lewat."

Ancamannya terdengar serius. Mungkin ia sudah menetapkan hati untuk mati di
pagi itu.

"Kalau boleh aku tahu kenapa kau mau bunuh diri ?"

Ia diam saja sesaat. Lalu pelan pelan ia berjongkok dan duduk di atas tanah
yang becek, seperti orang kehabisan tenaga. Setelah beberapa lama akhirnya
ia menjawab.

"Karena aku buta."

AKlimat terakhir itu menamparku. Mengejekku. Anak muda itu ingin mati karena
ia cacat.

"Lalu kenapa?" ketidak acuhan dalam suaraku hanya sandiwara. Dalam hati ada
tsunami yang memporak porandakan semua logika yang sudah dibangun lapis demi
lapis.

"Lalu kenapa," ualangku mengolok. "Aku buta. Tidak punya masa depan, tidak
punya harapan. Aku hanya akan merepotkan orang tuaku, Aku tidak akan bisa
mengurus driku sendiri, apalagi orang lain nanti, istriku, anakku."

Rasanya seperti mendengar suaraku sendiri. Hanya saja, itu keluar dari mulut
anak muda itu, yang kupikirkan betapa remehnya alasan itu, betapa absurd dan
konyolnya. Betapa terdengar remeh, dan egoisnya kata kata itu.

"Sejak kapan kau buta?" lanjutku, berharap percakapan akan mengalihkan
perhatiannya dari pusaran yang pasti sedang berkecamuk , di hatinya seperti
yang kualami. Pusaran yang tanpa ampun menghisap semua cahaya hanya tinggal
gelap, yang menghilangkan semua tujuan kecuali satu. Mati.

"Tiga bulan."
"Kecelakaan?"
"Bisa dibilang begitu."
"MAksudmu?"
"Aku dihajar anak sekolah lain hanya karena aku murid dari sekolah yang
mereka musuhi. Mereka menghantam kacamataku dan dokter terpaksa membuang
mataku karena terlalu banyak serpihan kaca di situ."

Datar, pahit, suaranya seperti gema dari kemarahanku sendiri. Pada sopir
mengantuk yang menghantam mobilku. Pada dokter yang tidak bisa
menyembuhkanku. Pada nasib yang menyilangkan jalanku dengan bus itu dan,
mungkin juga, pada Tuhan.

Ia tertawa kecil, sinis, "Aku selalu berfikir aku akan hidup sampai tua
seperti kakekku. Ia meninggal waktu umurnya 90 tahun, di kelilingi anak,
cucu dan cicitnya. Aku bermimpi untuk mati seperti itu. Tapi nyatanya yang
menemaniku sebelum mati hanya orang asing gila yang keluar main hujan sepagi
ini."

Lalu lanjutnya dengan nada yang lebih pahit, "Aku bahkan tak tahu apa yang
kulihat sebelum mati. Kegelapan ? Apa orang bisa melihat kegelapan ?"

Aku menggeleng, lalu ingat ia tidak bisa melihatku, "Entahlah."

Ia diam lagi sejenak. Lalu seperti bicara pada orang yang duduk di
sebelahnya di bus , atau di manapun, kapanpun dalam keadaan normal dan
wajar, ia bertanya sopan, "Siapa namamu?"

"Aku syamsul. Namamu?"

Ia kembali diam. Lalu terkekeh, "Lucu, aku dapat teman baru beberapa saat
sebelum aku mati."

Aku tersenyum getir. Ya, lucu. Kenapa harus orang asing yang jadi teman
bicara. Tidakkah ia punya keluarga, ayah, ibu, kakak, adik. Seperti aku
punya Astuti, kedua orang tuaku dan kedua adikku.

"Namaku surya," jawabnya kemudian.

"Matahari," komentarku.

"Matahari itu pengkianat!" ia tiba tiba terdengar marah. "Ia bercahaya
hingga semua bisa terlihat. Ia bersinar sehingga ada warna ada bentuk. Untuk
orang seperti aku. ia pengkhianat!"

Ia membungkuk dan mulai terisak. Pelan mulanya lalu lama kelamaan mulai
pedih, makin menyayat. Aku terpaku di tempatku, tak tahu apa yang harus
kulakukan.

"Kau tahu yang paling gelap dari kebutaan?" tanyanya tiba tiba, suaranya
masih dibasahi air mata. "Aku masih bisa melihat ingatanku!"

Aku terdiam, tak mengerti.

"Aku ingat warna nasi kuning yang dibuatkan ibu waktu lulus SMU, aku ingat
warna jaket almamaterku waktu aku memakainya pertama kali, aku ingat warna
langit senja di parang tritis.... aku masih bisa melihat semua itu dalam
kepalaku! mereka tak mau hilang! Aku...."

Dan ia kembali menangis. Sementara dalam hatiku aku mendengar sorak sorai
ribuan orang yang meledak gembira begitu aku menyeruak dari kolam dengan
tinju terkepal. Aku bisa melihat lagi kilau medali di dadaku. Bahkan aku
yakin aku bisa merasakan arus air yang membungkus tubuhku seperti selimut
hangat yang hidup bergejolak. Tapi itu tidak mungkin, tak mungkin... aku
merasa begitu dikhianati! Oleh masa lalu, oleh nasib, oleh... Tuhan? "Tapi
banyak yang bisa kau lakukan," kata-kata itu seperti menikamku sendiri
dengan ironi. Betapa banyak orang yang telah mengatakan hal yang sama
padaku.

"Jadi tukang pijit dan pengamen," sahutnya, masam.

"Entahlah. Pasti masih ada yang bisa kau lakukan. Kau masih muda, kau kuat,
kau..." tenggorokanku sakit. "masih punya tangat dan kaki."

"Aku hanya ingin jadi arsitek. Sejak kecil hanya itu yang kuinginkan. Aku
tidak pernah berfikir untuk jadi sesuatu yang lain. Aku tidak pernah bersiap
siap untuk menjadi apapun selain arsitek. Aku tidak... aku tidak tahu harus
bagaimana sekarang."

Aku selalu membayangkan aku akan terus berenang, terus menang. Setelah itu
akan jadi pelatih renang. Aku mencintai kolam renang. Aku tidak pernah
membayangkan mengerjakan apapun yang tak ada hubungannya dengan berenang.

"Aku ini rongsokan," simpulnya. "DAn rongsokan hanya pantas dibuang. Percuma
saja memelihara rongsokkan tak berguna seperti aku."

Ia kembali terisak. Perlahan lahan tubuhnya rebah ke tanah yang becek dan ia
terkulai berbaring, bahunya naik turun dihentakkan tangisnya. Airmataku ikut
meleleh, tercampur air hujan yang merembes turun dari anak anak rambut yang
melekat di dahiku.

Aku tak berguna. Aku hanya membebani Astuti saja. Aku...

Surya tiba tiba saja bangkit dan lari ke belakang tebing.

"Jangaaaaannn!" teriakku. Tapi ia sudah lenyap ditelan semak semak di dindin
g tebing yang landai. Aku melesat ke sana, dan melemparkan diriku ke bawah,
mencarinya.

Ia kutemukan merangkak di antara pohon-pohon pakis dan semak semak, masih
terisak isak begitu memilukannya. Aku berjuang mendekatinya, berpegangan
pada dahan dahan, beberapa diantaranya patah berderak menahan berat tubuhku,
Tapi akhirnya aku bisa menghampirinya. Kurenggut kemejanya. basah dan licin
karena hujan. Hampir saja lolos dari genggamanku, tapi aku bertahan sekuat
kuatnya, hingga ia tak bisa terus merangkak ke bawah.

"Pergi!" teriaknya. "Biarkan aku mati! Pergi!"

"Jangan egois!" bentakku gugup.

Sebelah tanganku yang bergelantungan di pohon mulai gemetar sementara
tanganku yang memegangi baju anak muda itu pun perlahan mulai kehilangan
pegangan. "Pikirkan ibumu, ayahmu, saudaramu! Mereka akan sangat kecewa
karena kau menyerah!"

Ia berhenti memberontak malah menangis makin keras. tubuhku sendiri rasanya
melemah tiap kali berfikir tentang Astuti. Ia tidak akan bisa mengerti.
Apakah ia akan menyalahkan dirinya sendiri? Apakah ia akan bisa melupakanku?
Sebagian dariku ingin ia bisa melupakanku sama sekali dan belajar mencintai
orang lain. Tapi aku tidak bisa mnegingkari keinginan untuk tetap dikenang,
dengan cinta kalau bisa.

"Hidupmu bukan milikmu sendiri," lanjutku dengan suara gemetar, bukan karena
dingin, tapi karena kau mengucapkan sesuatu yang masih goyah kuyakini.
Bagaimana aku bisa menolong orang yang akan tenggelam kalau kapalku sendiri
masih koyak layarnya.

"Hidupmu juga milik orang di sekitarmu. Milik.... Tuhan," seperti air nama
itu meluncur dari mulutku sebelum sempat maknanya menyerap di benakku
sendiri. "Kau sudah siap menghadap Tuhan? Kau sudah siap bertanggung jawab
atas hidupmu selama ini?"

Tubuhka rasanya berguncang. Kata kata itu seperti air bah yang menyeruak di
dalam tubuhku, meluluhlantakkanku. Siapakah aku? oh, Tuhan...belum!Aku tidak
siap untuk mati!

Peganganku di dahan terlepas dan tanpa ditahan aku tersuruk bersama anak
muda itu ke bawah. Tubuhku menabrak semak semak tanpa daya. Tersuruk,
terguling-guling, hingga akhirnya mendarat di tanah basah di sisi rel
kereta. Surya terkulai di dekatku. Aku mencoba angkit dengan susah payah.
Saat itu kudengar deru sayup di kejauhan.

Kereta yang kami tunggu akan segera lewat.

"Syam! Syam, kau... kau baik baik saja!" Surya bangkit dan meraba raba
mencariku.

"Kereta sebentar lagi lewat," kataku

Wajahnya berubah pias. "Oh," bisiknya. "Tidak..."

Ia menghampiriku dan menyadari aku masih terbaring, ia panik. "Kenapa diam
saja! kau harus lari dari sini! Kau harus naik..."

"Aku tidak bisa."

"Jangan main main!" ia nyaris menjerit. "Pergi dari sini!"

"Aku tidak bisa!" bentakku membalas. "Aku lumpuh!"

Ia membeku sesaat. "Kau..."

"Aku lumpuh," ulangku pahit. "Dari pinggang ke bawah."

"Ya Allah," gumam surya. "Tapi... bagaimana kau bisa di sana tadi...?"

"Kursi Roda," sahutku pendek. Aku masih belum bisa berdamai dengan benda itu
yang kuanggap sebagai monumen kekalahanku dalam hidup.

Ia menyeretku dengan gigih. Tubuhnya lebih kurus dan dinding tebing itu
licin karena hujan. Berkali kali ia terpelesetdan beban tubuhku akan
menyeretnya kembali ke bawah. Sementara itu suara hujan makin tenggelam
ditelan deru mesin diesel yang semakin dekat saja. Sekali, dua kali, tiga
kali kami merosot turun, sampai akhirnya ia berhasil menyeretku sedikit
lebih menjauh di bagian atas dinding tebing.

Hari itu kereta diesel lewat tepat waktu. Pukul enam pagi. Aku tahu karena
aku sempat melihat arlojiku saat kereta itu melintas hanya beberapa meter di
depanku.

Aku masih bisa melihat. Dan surya masih bisa berjalan.

Minggu pagi hujan mulai reda.
------------------------------
Maret 2000
Untuk yang tersayang di rumah




Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang
diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (Mereka berdo'a): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami,
janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana
Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami,
janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami
memikulnya. Beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami.
Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang
kafir." Qs Albaqarah 286.


"Rabbana maa Khalaqta hadza baatilaa subhaanaka faqinaa adzaabannaar".