CINTA
"Manusia tidak jatuh 'ke dalam' cinta, dan tidak juga keluar 'dari cinta'.
Tapi manusia tumbuh dan besar dalam cinta".
Cinta, di banyak waktu dan peristiwa orang selalu berbeda mengartikannya.
Tak ada yang salah, tapi tak ada juga yang benar sempurna
penafsirannya.
Karena cinta selalu berkembang, ia seperti udara yang mengisi
ruang kosong.
Cinta juga seperti air yang mengalir ke dataran yang lebih
rendah.
Tapi ada satu yang bisa kita sepakati bersama tentang cinta.
Bahwa cinta,
akan membawa sesuatu menjadi lebih baik, membawa kita untuk
berbuat lebih
sempurna. Mengajarkan pada kita betapa, besar kekuatan yang
dihasilkannya.
Cinta membuat dunia yang penat dan bising ini terasa indah,
paling tidak
bisa kita nikmati dengan cinta.
Cinta adalah kaki-kaki yang melangkah membangun samudera
kebaikan. Cinta
adalah tangan-tangan yang merajut hamparan permadani kasih
sayang. Cinta
adalah hati yang selalu berharap dan mewujudkan dunia dan
kehidupan yang
lebih baik.
Dan Islam tidak saja mengagungkan cinta tapi memberikan contoh
kongkrit
dalam kehidupan. Lewat kehidupan manusia mulia, Rasulullah
tercinta.
Ada sebuah kisah tentang totalitas cinta yang dicontohkan Allah
lewat
kehidupan Rasul-Nya. Pagi itu, meski langit telah mulai
menguning,
burung-burung gurun enggan mengepakkan sayap. Pagi itu,
Rasulullah dengan
suara terbata memberikan petuah, "Wahai umatku, kita semua
ada dalam
kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah
kepada-Nya.
Kuwariskan dua hal pada kalian, sunnah dan Al Qur'an. Barang
siapa mencintai
sunnahku, berati mencintai aku dan kelak orang-orang yang
mencintaiku, akan
bersama-sama masuk surga bersama aku."
Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah
yang teduh
menatap sahabatnya satu persatu. Abu Bakar menatap mata itu
dengan
berkaca-kaca, Umar dadanya naik turun menahan napas dan
tangisnya. Ustman
menghela napas panjang dan Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba. "Rasulullah
akan meninggalkan
kita semua," desah hati semua sahabat kala itu. Manusia
tercinta itu, hampir
usai menunaikan tugasnya di dunia. Tanda-tanda itu semakin kuat,
tatkala Ali
dan Fadhal dengan sigap menangkap Rasulullah yang limbung saat
turun dari
mimbar. Saat itu, seluruh sahabat yang hadir di sana pasti akan
menahan
detik-detik berlalu, jika mungkin.
Matahari kian tinggi, tapi pintu Rasulullah masih tertutup.
Sedang di
dalamnya, Rasulullah sedang terbaring lemah dengan keningnya yang
berkeringat dan membasahi pelepah kurma yang menjadi alas
tidurnya.
Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru
mengucapkan salam.
"Bolehkah saya masuk?" tanyanya. Tapi Fatimah tidak
mengizinkannya masuk,
"Maafkanlah, ayahku sedang demam," kata Fatimah yang
membalikkan badan dan
menutup pintu. Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata
sudah
membukan mata dan bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu wahai
anakku?"
"Tak tahulah aku ayah, sepertinya ia baru sekali ini aku
melihatnya," tutur
Fatimah lembut. Lalu, Rasulullah menatap putrinya itu dengan
pandangan yang
menggetarkan. Satu-satu bagian wajahnya seolah hendak di kenang.
"Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara,
dialah yang
memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malakul maut," kata
Rasulullah,
Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya.
Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan
kenapa Jibril
tak ikut menyertai. Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya
sudah
bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan
penghulu dunia
ini.
"Jibril, jelaskan apa hakku nanti dihadapan Allah?"
Tanya Rasululllah dengan
suara yang amat lemah.
"Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah
menanti ruhmu. Semua
surga terbuka lebar menanti kedatanganmu," kata jibril. Tapi
itu ternyata
tak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan.
"Engkau tidak senang mendengar kabar ini?" Tanya Jibril
lagi.
"Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?"
"Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar
Allah berfirman
kepadaku: 'Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat
Muhammad telah
berada di dalamnya," kata Jibril.
Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas.
Perlahan ruh
Rasulullah ditarik Tampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah
peluh,
urat-urat lehernya menegang. "Jibril, betapa sakit sakaratul
maut ini."
Lirih Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di
sampingnya menunduk
semakin dalam dan Jibril membuang muka.
"Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu
Jibril?" Tanya
Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu.
"Siapakah yang tega, melihat kekasih Allah direnggut
ajal," kata Jibril.
Sebentar kemudian terdengar Rasulullah memekik, karena sakit yang
tak
tertahankan lagi. "Ya Allah, dahsyat niat maut ini, timpakan
saja semua
siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku."
Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tak
bergerak lagi.
Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera
mendekatkan
telinganya. "Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku,
peliharalah
shalat dan santuni orang-orang lemah di antaramu."
Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling
berpelukan.
Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali
mendekatkan telinga
ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan.
"Ummatii, ummatii, ummatiii" Dan, pupuslah kembang
hidup manusia mulia itu.
Kini, mampukah kita mencinta sepertinya?