Mengembalikan Rumus Kepemimpinan Rumah Tangga
Tak mungkin satu biduk dua nahkoda


 
     Nadhila dan Nabil adalah pasangan suami istri yang sama-sama bekerja mencari nafkah.
Dua orang anak mereka, Salman dan Shafy, masing-masing sudah duduk di kelas dua SD dan
TK. Sehari-hari keluarga muda ini dibantu oleh dua pembantu. Seorang mengurus keperluan
rumah tangga, yang satu lagi merawat anak-anak selama ditinggal ibunya.

     Selama hampir dua tahun semenjak Dhila bekerja, suasana masih tenang-tenang saja.
Bahkan ada semacam kebahagiaan tersendiri, yang merupakan dampak dari kecerahan masa
depan di mata mereka. Hal itu menambah semangat keduanya untuk terus memacu prestasi.

     Tetapi akibat lain ternyata tak bisa mereka duga. Dengan semakin menanjaknya karir,
kesibukan Dhila maupun Nabil kian meningkat. Memang gaji bertambah, tetapi yang harus
mereka pikirkan juga semakin banyak dan kian ruwet saja rasanya.

     Lalu, sedikit demi sedikit perselisihan mulai terjadi. Satu kali, masalah siapa yang harus
menjemput Salman saat pulang sekolah. Kali lain soal siapa yang mesti mengawasi belajarnya
anak-anak. Belum lagi masalah keinginan-keinginan yang berbeda. Ketika Dhila ingin membeli
kompor gas, Nabil mengatakan lebih penting membeli vidio. Sebaliknya saat Nabil ingin memiliki
sepeda untuk olahraga, Dhila menuntut tersedianya almari es di rumah.

     Masih banyak lagi permasalahan lain, yang tak jarang hanya berawal dari hal sepele. Yang
dulu bisa diselesaikan dengan mudah, kini menjadi alot dan rumit. Semakin keduanya pintar
berargumentasi. Semakin dua-duanya punya hak bersuara. Semakin pula sama-sama memiliki hak
dan kewajiban. Akhirnya, semakin sulit untuk ada yang mengalah.

     Apakah ini sebuah kewajaran? Atau sebuah dilema?

     Kenyataannya, banyak keluarga pasangan suami-istri bekerja yang mengalami hal ini. Ada
semacam krisis kepemimpinan. Tak jelas siapa pengambil keputusan dalam rumah tangga.
Bagaimana Islam menanggapi krisis ini?

Keseimbangan.
     Sebelum membahas lebih jauh, konsep dasar ajaran ketaatan harus kita pahami terlebih
dahulu. Yang pertama adalah, mengapa harus ada ketaatan? Apakah tidak mungkin jika
masing-masing dari kedua penghuni rumah menjalankan kebijakannya sendiri-sendiri?

     Memang di sinilah letak permasalahannya. Jika setiap orang berhak bertindak sesuai
policynya pribadi, maka yang terjadi adalah kekacauan. Tidak adanya kesepakatan menjadikan
banyak hal harus bersinggungan atau bahkan berbenturan keras hingga hancur berantakan.
'Pemerintahan' yang rapi dan terstruktur bukan saja penting bagi sebuah negara besar. Tetapi,
keluarga sebagai sebuah negara kecil pun memerlukannya. Bila ingin mencapai satu tujuan secara
bersama, maka mutlak harus ada koordinasi. Harus ada kerjasama, bukan sekadar bekerja
bersama-sama.

     Rumus keseimbangan mengatakan, selalu harus ada yang ditaati dan ada yang menaati.
Tidak mungkin semua menjadi pemimpin atau semua menjadi anggota yang masing-masing
memimpin dirinya sendiri-sendiri.

     Katakanlah misalnya Dhila dan Nabil yang memiliki tujuan sama, mengangkat ekonomi
keluarga. Bila tak ada kata sepakat tentang siapa yang mencari nafkah serta bagaimana caranya,
tentu runyam jadinya. Nabil yang semula tak ingin istrinya bekerja, tetapi karena Dhila ngotot
akhirnya memberi juga kesempatan. Selanjutnya Nabil tak mau peduli dengan urusan karir Dhila,
tidak menghalangi, tidak juga mendukung. Dianggapnya itu urusan Dhila pribadi.

     Sementara Dhila yang sudah agak sentimen karena semula dilarang bekerja dan tak pernah
mendapat dukungan, akhirnya mengambil langkah terbaik buat dirinya sendiri saja. Tak sekalipun
ia mau meminta pertimbangan suami tentang pekerjaanya. Tak juga ia merasa perlu meminta ijin
suami untuk segala sesuatu kepentingan yang menyangkut karirnya.

     Akhirnya masing-masing berjalan sendiri-sendiri, walau tetap satu tujuan. Yang terjadi
adalah benturan-benturan dalam kehidupan sehari-hari, yang bisa berkembang menjadi
permasalahan besar.

Hanya satu, bukan dua.
     Dan pemimpin itu dipegang hanya oleh satu orang saja. Perbandinganya seperti ke-Esaan
Allah swt. Jika ada dua Tuhan justru alam ini akan hancur berantakan. Begitu pula dalam
masyarakat, harus ada satu orang imam yang akan ditaati oleh semua jamaah. Dan dalam keluarga
pun hanya boleh ada satu pemimpin.

     Bagaimana jika sama-sama saja? Suami dan istri sama- sama punya hak memimpin, segala
sesuatu tinggal dimusyawarahkan saja? Bukankah ini akan lebih adil?

     Ya, musyawarah memang sangat diperlukan dalam mengambil keputusan, ini pun ada
dalam ajaran berkeluarga secara Islam. Tetapi yang harus diingat bahwa keputusan akhir tetap
berada di satu tangan. Dan harus selalu jelas tangan siapa itu. Semua anggota musyawarah berhak
mengemukakan pendapat, berhak mengeritik bahkan menolak usulan pemimpin sekalipun. Tetapi
setelah dimusyawarahkan bersama dan akhirnya diambil keputusan, maka otomatis menjadi
kewajiban seluruh anggota untuk melaksanakan keputusan tersebut.

     Si pengambil kata putus inilah yang disebut pemimpin. Keberadaannya mutlak dibutuhkan.
Jika tidak ada satu orang yang dipercaya sebagai pemimpin, mungkin beberapa orang akan
berebut membuat keputusan yang berbeda tentang hasil musyawarah. Jadinya akan timbul
kjelompok-kelompok sempalan.

     Musyawarah sesering apapun jika salah satu pihak tidak ada yang mau mengorbankan
pendapatnya, masing-masing bersikukuh, maka keputusan yang baik tak akan kunjung didapat.

     Meskipun ada dua pendapat yang sama-sama baik, tetap diperlukan hanya satu keputusan.
Bukan dua. Salah satu harus berkorban. Dua kebijaksanan, walau sebaik apapun, bila
dilaksanakan bersamaan justru memberikan hasil buruk, karena tidak adanya koordinasi.

     Ketika Nabil menginginkan sepeda untuk olah raga, misalnya, ia pun tidak mengada-ada.
Ini memang diusulkan oleh dokter, mengingat kesehatan Nabil agak terganggu karena kurang
gerak. Ini adalah sebuah kebijakan yang baik. Tetapi yang diinginkan Dhila juga baik, karena
dengan memiliki almari es akan sangat mempermudah tugasnya untuk berbelanja dan mengatur
menu, sehingga akhirnya meringankan beban tugasnya memasak, yang akhirnya mengurangi pula
beban pikirannya.

     Tetapi tetap salah satu harus mengalah. Boleh Nabil yang mengalah, bisa jadi pula Dhila.
Jika setelah dimusyawarahkan tetap belum ada yang mau mengalah, tentu dua keinginan ini tidak
bisa dibiarkan dijalankan masing-masing. Dibiarkan berseteru pun tak ada gunanya. Maka jelas
yang dibutuhkan di sini adalah kata putus dari suami. Dan ketaatan dari sang istri. Tanpa adanya
ini, perseteruan tak akan selesai.

     Allah swt sang Pemilik manusia telah menetapkan bahwa pemimpin di dalam keluarga
adalah laki-laki (Qs an-Nisa': 34). Karena Dia yang Menciptakan, sudah jelas pilihan inipun tak
akan mungkin keliru. Dialah yang paling tahu apa yang terbaik bagi makhluk-makhluk-Nya.

     Tidak ada salahnya, kita mencoba menguak misteri ketaatan ini. Mengapa Allah swt
memilih laki-laki? Apa dasar pemikirannya? Apa pula hikmahnya bagi kita? Apa pula akibatnya
jika tidak kita laksanakan ajaran-Nya ini?

Luas wawasan.
     Sesuai pembagian tugas secara fitrah, laki-laki berkewajiban bekerja untuk memenuhi
nafkah keluarga. Untuk tugas ini mereka dituntut untuk selalu keluar rumah. Mereka harus
berhubungan dengan banyak orang dan harus tahu juga keadaan masyarakat.

     Informasi yang mereka dapatkan jauh lebih banyak, lebih bervariasi dan lebih valid karena
luasnya pergaulan. Lengkap-tidaknya informasi yang diperoleh seseorang tentu akan
mempengaruhi taraf kesempurnaan kebijaksanaan yang akan diambil. Jika seorang pemimpin yang
hendak memutuskan sesuatu hal tidak memiliki keluasan informasi, jelas nilai kebijaksanaannya
patut dipertanyakan.

     Masalahnya sekarang istri pun banyak yang mencari nafkah. Bukankah itu berarti para
istripun mendapatkan informasi yang banyak dan luas pula? Apakah lantas dengan kapasitas
informasi yang mereka miliki itu mereka tidak berhak untuk turut memutuskan?

     Memang tidak bisa dipungkiri, peran wanita sangat diperlukan, termasuk dalam upaya
pembentukan masyarakat Islami. Tetapi Islam tetap membatasi ruang gerak kaum muslimah yang
berkarir itu, sebatas kemampuan mereka sebagai wanita.

     Misalkan dalam hal pemilihan waktu kerja, untuk kaum muslimah tidak perlu full-time.
Selain mempertimbangkan kemampuan fisik, masih banyak tugas utama lain dalam rumah tangga
yang harus tetap memperoleh perhatian. Itu sebabnya jika muslimah berkarir, harus diatur waktu
yang fleksibel hingga tidak mengganggu tugas-tugas kerumahtanggaannya.

     Begitu pula dalam lingkup dunia kerjanya. Wanita diarahkan berkiprah dalam masyarakat
khusus kaum muslimah. Sehingga karir mereka nantinya dari muslimah, oleh muslimah, dan untuk
muslimah. Dalam lingkungan kerja seperti ini biasanya informasi yang berkembang di dalamnya
sebatas pada persoalan-persoalan kaum wanita dan keluarga saja. Bukan masalah
kemasyarakatan yang luas, termasuk urusan politik. Untuk hal yang terakhir ini, ruang kerja
laki-lakilah yang banyak membicarakannya.

     Seorang muslimah yang berkarir secara Islami, tetap tidak akan melebihi suaminya. Kecuali
mereka melampaui batas, sehingga melalaikan tugas kerumahtanggaannya, dan sibuk untuk
mengurus sesuatu di luar lingkupnya. Istri seperti ini biasanya rawan berselisih dengan suaminya.

Rasional.
     Rasional-tidaknya pemikiran seseorang amat dipengaruhi tingkat dominasi perasaannya.
Tingkat rasionalisasi pikiran berbanding terbalik dengan tingkat penggunaan emosi dan perasaan
dalam berpikir tersebut.

     Laki-laki, karena secara fitrah tidak didominasi perasaan dalam berpikir dan bertindak,
relatif lebih rasional dalam menentukan sesuatu. Dan memang inilah yang sangat mempengaruhi
kualitas sebuah kebijakan. Bagaimanapun, langkah yang banyak diikuti emosi tidak akan
memberikan hasil yang baik.

     Wanita secara normal tidak akan demikian. Emosinya tetap menonjol, karena memang
lingkup tugasnya menuntut demikian. Dan ini tidak bisa dihilangkan, karena justru aka berakibat
fatal: ia tidak bisa lagi melaksanakan tugas kewanitaannya.

     Batasan dalam Islam tentang hal ini cukup jelas, di mana muslimah boleh berkarir sepanjang
karir itu tidak mengikis habis dominasi emosi dan perasaannya terhadap cara pikir dan tingkah
laku keseharian.

Jauh ke depan.
     Karena sifat maskulinitas, dalam berpikir biasanya laki-laki lebih matang, menggunakan
lebih banyak pertimbangan, dan pikirannya lebih jauh mengarah ke depan, bukan sekadar terpikir
untuk besok atau besok lusa saja.

     Sebaliknya sifat femininitas menuntut wanita untuk lebih memperhatikan hal-hal detil dan
sepele, dalam jangka pendek. Kekhasan wanita yang satu inipun sangat diperlukan dalam
melaksanakan tugas utamanya. Bukankah mendidik anak dan mengurusi tugas rumah tangga itu
penuh pernik-pernik dan detil kecil yang jika terlewatkan dari perhatian bisa membuat masalah
besar?

Naluri kepemimpinan dan harga diri.
     Kunci pokok yang menyebabkan kepemimpinan harus ditanggung laki-laki yaitu karena
Allah telah menakdirkan hal itu sebagai harga diri mereka. Setiap laki-laki terlahir untuk menjadi
pemimpin. Itu pasti. Jika ada laki-laki yang tidak diberi kesempatan memimpin istri dan
anak-anaknya, bisa dipastikan jiwanya berkembang tidak normal.

Laki-laki yang tidak diakui kepemimpinannya dalam keluarga jelas akan kehilangan harga dirinya.
Di mata istri, anak-anak, bahkan juga di mata orang lain. Mereka akan mengembangkan
beberapa jenis perilaku sebagai kompensasinya.

     Ada yang berkompensasi mencari wanita lain di luar kehidupan pernikahannya, asal bisa
sebagai saluran naluri kepemimpinannya. Ada yang berkompensasi terhadap rekan kerja dan
bawahannya, sehingga ia menjadi diktator di lingkungan kerjanya. Atau ada yang bereaksi pasif,
menjadi suami yang teramat pasif dan tak mau tahu bertanggung jawab sebagai kepala keluarga.
Cenderung menyembunyikan diri di rumah, bersantai, bersiul-siul sambil memberi makan burung
perkutut. Tak peduli kepada istri yang banting-tulang mencari nafkah untuk keluarga. Itu semua
adalah kompensasi, sebagai 'protes' terhadap harga diri mereka yang tidak diakui dalam keluarga.

Harga ketaatan adalah surga.
     Begitu pentingnya seorang istri taat kepada suami, hingga Allah swt tak main-main pula
terhadapnya. Ketaatan itu dihargai sama dengan jihad, yang akan diganjar surga bagi siapa yang
melaksanakannya.

     Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda, "Apabila wanita mendirikan shalatnya
yang lima, berpuasa bulan (Ramadhan)-nya, memelihara kemaluannya dan menaati
suaminya, maka dia masuk surga dari pintu mana dia kehendaki." (HR Ibnu Hibban)



Sumber: majalah Hidayatullah