SAHID - EDISI 07/XI NOP 1998

Sampaikan dengan Kearifan Menghindari geger, sampaikan problem keluarga pada saat yang baik

Seperti biasa, Ummu Sulaim menyambut kedatangan suaminya dari bepergian jauh dengan senyum mengembang. Sang suami masuk rumah dengan sukacita. Ditanyakanlah bagaimana keadaan anak-anak, sambil ditengoknya anak yang nampak sedang tidur di pembaringan.

Ummu Sulaim melarang suaminya mendekati anak itu, khawatir mengganggu ketenangan tidurnya. Sebaliknya ia segera mengajak suaminya beristirahat di kamar melepaskan lelah. Dengan setia Ummu Sulaim menghibur suami dan melayani segala keinginannya.

Sesaat kemudian, Ummu Sulaim dengan lembut bertanya, "Suamiku, jika sekiranya kita meminjam barang kemudian barang itu diminta kembali oleh pemiliknya, bolehkah kita marah?" Maka suaminya pun menjawab, "Tentu saja tak boleh." Ummu Sulaim meneruskan, "Kalau begitu, janganlah menjadi marah suamiku, karena sesungguhnyalah anak kita pun sudah diambil kembali oleh pemiliknya."

Bagai disambar petir rasanya sang suami mendengarkan penuturan istrinya itu. Hatinya gusar bukan kepalang, mengapa tidak ia sampaikan sedari tadi berita itu? Mengapa harus sampai mereka berhubungan terlebih dahulu padahal ada musibah yang begitu besar bagi mereka?

Tak dapat menahan kegusarannya, sang suami pun pergi mengadu ke Rasulullah Saw. Namun ternyata beliau tidak menyalahkan tindakan Ummu Sulaim, bahkan memujinya. Tak lupa beliau mendoakan mudah-mudahan perbuatan keduanya saat itu mendapatkan berkah dari Allah Swt.

Kelak, akan terbukti bahwa berkah itu memang datang, dengan kabar bahwa persetubuhan suami-istri itu membuat Ummu Sulaim mengandung. Allah telah memberi ganti anak mereka yang meninggal dengan cara yang baik.

Begitulah, Ummu Sulaim berhasil menyampaikan sebuah berita duka, sebuah musibah besar dengan cara yang halus dan baik sehingga tak memberi kesempatan suaminya untuk kecewa dan sedih hati.

Mencari metode yang tepat untuk menyampaikan atau membicarakan permasalahan-permasalahan yang mengguncang rumah tangga memang teramat penting bagi suami istri. Secara psikologis, berat ringannya satu musibah dan persoalan bukannya ditentukan oleh musibah itu, tetapi juga oleh bagaimana cara pandang orang yang menerimanya.

Satu musibah kematian, misalnya, bagi si A merupakan hal yang walaupun berat tetapi masih bisa ia terima dengan lapang dada. Tetapi bagi si B bisa menjadi beban yang teramat berat dan membuatnya seakan ikut mati pula.

Kenyataan ini memberikan rumus kepada kita, bahwa agar sebuah musibah bisa diterima dengan lapang dada, maka yang harus dipersiapkan adalah hati dari si penerima musibah. Maka diperlukan perencanaan yang baik bagi seorang isteri untuk lebih dahulu mempersiapkan hati suami sebelum menerima kabar duka, atau sebelum mendiskusikan persoalan berat yang ada dalam rumah tangga.

Coba saja simak pengalaman Syifa ketika menunjukkan rekening tagihan listrik kepada suaminya sembari mengeluhkan besarnya nilai rupiah yang harus mereka bayarkan untuk itu. Sayangnya, Syifa melakukan itu ketika suaminya baru saja tiba sepulang dari kantor. Dengan wajah yang masih kuyu dan badan yang penat, suaminya hanya bersungut-sungut melihat rekening tersebut.

Suami Syifa tersinggung, merasa istrinya menuduh ia yang banyak menghabiskan listrik. Memang, hobbinya mengutak-atik elektronika selalu banyak menghabiskan listrik. Karena tersinggung, maka yang terlontar bukanlah pemahaman, tetapi justru kata-kata yang tidak enak didengar.

Seperti Ummu Sulaim, kita pun harus mencari cara yang tepat untuk menyampaikan satu persoalan kepada suami atau istri. Beberapa hal yang bisa dilakukan akan kita bahas di sini.

1. Pilihan Waktu yang tepat

Perbuatan Ummu Sulaim sungguh-sungguh mulia. Betapa besar ketabahan yang ia miliki sehingga mampu bersabar menghadapi ujian berat, sekaligus mencari waktu terbaik untuk mengabarkan satu musibah besar kepada suami. Seandainya Ummu Sulaim menyambut kedatangan suaminya yang sedang amat lelah dengan tangisnya yang memilukan, mungkin suami akan menjadi lebih sedih lagi. Dalam kondisi suami yang belum fit, dikhawatirkan tidak akan bisa ikhlas menerima takdir Allah Swt tersebut.

Pemilihan waktu yang baik akan membantu seseorang untuk lebih mudah menerima berita buruk. Orang akan lebih mudah untuk mengendalikan emosinya, dan bisa berpikir dengan akal sehatnya.

2. Kestabilan Emosi

Tak mungkin Ummu Sulaim mampu menahan keinginannya untuk bicara kepada suami jika ia tak pandai menjaga emosinya. Padahal sebuah musibah teramat berat telah menimpanya.

Menjaga kestabilan emosi, sangat diperlukan pada saat-saat kritis seperti ini. Begitu juga bila kita harus menyampaikan berita buruk kepada suami, yang terlebih dahulu harus kita miliki adalah kestabilan emosi.

Kestabilan emosi ini muncul bersamaan dengan keikhlasan yang tumbuh dalam dada. Keikhlasan menerima takdir, walaupun kita anggap buruk, dari Allah Swt. Itu sebabnya teramat penting bagi kita untuk menjaga keikhlasan hati kapanpun dan dimanapun kita berada. Ini penting, mengingat musibah bisa datang sewaktu-waktu, tak peduli saat dan tempat.

3. Kalimat Berhikmah

Perhatikan rangkaian kalimat yang dipilih Ummu Sulaim untuk mengabarkan kematian anak mereka. Selain diucapkan dengan lembut, kalimat itu memiliki makna yang sangat dalam. Berita musibah tidak langsung disampaikan, tetapi terlebih dahulu dengan mengingatkan bahwa barang milik orang akhirnya akan diambil juga. Benar-benar sebuah ucapan yang amat bijaksana.

Kebijaksanaan itu pun bisa kita teladani jika kita menghadapi musibah serupa, yaitu musibah kematian. Bukankah semua yang ada di muka bumi ini milik Allah? Kita memiliki anak pun hanya sekedar titipan. Semua milik Allah. Jika meninggal, hilang, rusak, itu berarti telah diambil oleh pemiliknya yang sebenarnya.

Memilih kalimat yang bijaksana dan tepat kadangkala bukan hal yang mudah. Bagi mereka yang belum biasa mungkin memerlukan persiapan untuk memilih-milih. Akan lebih mempermudah jika kita memahami karakter pasangan masing-masing, sehingga sudah hafal kalimat-kalimat yang membuat pasangan senang dan bisa mengerti.

4. Bahagiakan Terlebih dahulu

Tak kurang Rasulullah Saw turut mendoakan hubungan yang dilakukan Ummu Sulaim dan suaminya, ketika beliau tahu sang istri melakukannya demi membahagiakan suami terlebih dahulu.

Sebuah trik yang baik dan bisa kita lakukan terhadap pasangan kita. Secangkir teh hangat beserta kue ringan di sore hari, misalnya, bisa memberikan kegembiraan bagi suami sebelum istri menyampaikan dengan hati-hati permasalahan yang ingin dibicarakan.

Kebahagiaan seperti apa yang akan diberikan, ini tergantung pula kepada karakter masing-masing orang. Itu sebabnya sangat penting bagi sepasang suami-istri untuk senantiasa saling menambah pemahaman dari hari ke hari. Insya Allah, jika pemahaman cukup, akan mempermudah menciptakan suasana tenang walau dalam kondisi menerima musibah sebesar apapun, atau ketika mendiskusikan permasalahan yang berat.

-----------