Perbincangan Dini Hari

Apakah yang anda lakukan apabila pada dini hari suami anda baru tiba di
rumah dengan wajah kuyu? Anda pura-pura tidak mendengar ketukan pintunya
dan meneruskan mimpi yang indah? Atau anda segera datang kemuka pintu,
menjawab salam dengan bersemangat dan memberikan senyuman yang manis
sembari menyapa:" Segera masuk Bang, dingin udara diluar....biar ku buatkan
teh panas yang akan menghangatkan tubuh!"
Para suami yang telah bekerja seharian demi memenuhi kebutuhan nafkah istri
dan keluarga, dan ditambah lagi tugas-tugas dakwah yang pada malam itu
harus ditunaikan sehingga ia pulang larut, sambutan istri yang penuh
deraian senyum barang kali menjadi dambaan. Betapa kecewa seorang suami
yang pulang menembus kedinginan malam, ditingkahi salakan anjing-anjing
penjaga rumah tetangga serta rasa kantuk yang amat sangat, tiba-tiba di
depan pintu dihadang pula kedinginan sikap, salakan sambutan atau dengkuran
sang istri.
Saya ingin menjadi istri yang baik. Malam itu suami saya, sebagaimana yang
sering terjadi, pulang larut malam. Saya buka pintu muka rumah dengan
hati-hati, khawatir membangunkan bayi kami yang baru sebulan lahir sebagai
anak keempat. Saya ucapkan salam sebelum ia membuka mulutnya. Kucium
tanganya sebelum ia selesai mengucapkan balasan salamnya. Kusediakan wadah
sepatu sebelum ia selesai membuka tali-talinya. Dan kusediakan minuman
sebelum ia memintanya. Dan aku tahu minuman apa yang menjadi kesukaannya
apabila ia pulang larut.
"Lelah Bang? Tentu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan hari ini.
Silakan minum susu hangatnya, apa perlu saya jerangkan air untuk mandi?"
Sapa saya dan saya tahu apa yang akan diucapkannya.
"jazakillahi khairan. MasyaAllah, tentu adik yang sibuk sepanjang hari
ini: memasak, mencuci, mengasuh anak-anak, dan harus menulis pula. Cukup
dengan mengingat itu semua, rasa lelah abang hilang sudah"
Itulah kata-kata pujian yang disenandungkan untuk saya. Kata-kata yang
membangkitkan kasih sayang, rasa setia dan keinginan untuk untuk terus
berjuang dan berkorban di jalan, dimana suami saya berkiprah: Dakwah Islam.
Ia mengucapkan kata-kata itu pada momen yang sama, selalu. Namun saya
tidak pernah mau bosan mendengarkannya.
"Saya hanya memikirkan dan mengurus empat anak, sedang abang memikirkan dan
mengurus ummat dengan sejuta masalahnya. Tentu saya harus membantu abang".
"Alhamdulillah, saya harus bersyukur Allah mengaruniai istri semacam adik".
"Alhamdulillah, kebahagiaan yang besar bagi saya bersuamikan abang".
"Bagaimana kesehatan Wali, sekolah Fatih, kemajuan belajar Sarah dan
perkembangan Sofi?
"Alhamdulillah, mereka baik-baik saja. Wali sudah hilang flunya, Fatih
kemarin sempat tidak buat PR karena lupa mencatat tugas di buku penghubung,
Sarah mulai memasuki Qiraati jilid 2 dan Sofi mulai berceloteh sedikit.
Maafkan saya, mungkin saya harus memperhatikan anak-anak lebih teliti lagi".
"Jazakillahi khairan. Barang kali abang yang harus memperhatikan kembali
tugas-tugas abang agar tersisa waktu yang layak bagi anak-anak. Mereka
tetap tanggung jawab abang".
"Tetaplah abang pada tugas yang abang emban. Jangan bergeming atau surut
sedikitpun. Saya akan bekerja lebih keras lagi untuk keluarga kita."
"Betapa mudah kita melakuka pengorbanan, namun betapa sulit kita mengukur
keseimbangan".
"Saya senantiasa memohon kepada Allah agar kita kita diberi kemenangan
dalam mengurus ummat dan juga keluarga".
Suami saya kemudian meneguk minumannya, bangkit berwudhu dan shalat witir
tiga rakaat. Suara kokok ayam sesekali menembus kegelapan.
Berapa orang istri yang senantiasa menerima kehadiran suaminya pada dini
hari? Betapa banyak dari mereka yang sempat mengusir kantuk, dan bergerak
lincah kemuka pintu? Berapa orang dari mereka yang masih sempat menabur
senyum ditengah kegelapan? Dan, kadang saya terfikir, berapa orang suami
yang bersikap seperti suami saya? Dakwah memang menuntut pengertian,
pengorbanan dan kesabaran.
Ya Allah, beri kesempatan kepada saya untuk istiqomah dalam jalanMU

Sumber: Ishlah No 14/Th II/1415