TENTANG KELUARGA IDEAL
http://www.hidayatullah.com/sahid/ed9701.htm

"Allah merahmati seorang wanita yang bangun malam kemudian mengerjakan
shalat dan membangunkan suaminya, maka suaminyapun menegerjakan shalat. Jika
suaminya menolak bangun, ia percikkan air pada wajahnya." (HR. Abu Dawud dan
Ibnu Majah)

Hadits ini bisa dipelajari dari berbagai sudut. Dari sudut kehidupan rumah
tangga, jelas nampak betapa sebuah keluarga harus dibangun atas dasar
keimanan yang kuat. Hanya keluarga yang imannya kuat saja yang mampu
melaksanakan hadits ini.

Tonggak utama keluarga adalah suami istri. Kedua unsur ini harus memiliki
bobot keimanan yang sama, sehingga ada keharmonisan dalam mengayuh sebuah
kendaraan yang mesti melalui berbagai belokan dan tanjakan. Pertama yang
harus sama adalah imannya, baru kemudian yang lainnya.

Tentu saja hal ini harus dimulai dari sejak pemilihan calon suami atau
istri. Yang harus sekufu (seimbang) pertama kali adalah visi, missi,
cita-cita, ideologi, yang terangkum dalam kualitas imannya. Soal tingkat
pendidikan, harta kekayaan, status sosial, latar belakang, kecantikan dan
ketampanan, sekalipun tetap patut dijadikan pertimbangan namun bukan yang
nomor satu.

Memang benar bahwa dalam soal ibadah masing-masing individu menanggung beban
dan pahala atau siksa yang sama. Ibadahnya suami tidak bisa ditransfer untuk
istrinya, demikian juga sebaliknya. Apa yang dikerjakan oleh suami adalah
untuk suami, sedang yang diperbuat oleh istri -baik atau buruk- adalah untuk
istri. Dalam kaitan ini suami istri punya kedudukan yang sama. Allah
berfirman: "Barangsiapa mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada
mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan."
(QS. An-Nahl: 97)

Lewat hadits di atas, Islam juga menolak gagasan bahwa surga dan nerakanya
istri itu tergantung pada suaminya. Ajaran Islam secara tegas menyatakan
bahwa seseorang hanya menanggung apa yang diperbuatnya. Di luar itu adalah
tanggungan orang lain.

"Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat
siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya." (QS. Al-Baqarah: 286)

Bahkan suami istri tidak bisa saling menolong pada hari perhitungan.
Demikian juga anak tidak bisa menolong orang tuanya atau sebaliknya, apalagi
harta benda. Allah menggambarkan dalam surah Asy-Syu'ara: 88, bahwa pada
hari kiamat itu tidak lagi bermanfaat harta maupun anak-anak. Masing-masing
orang bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Ayah, ibu, anak adalah
hubungan fungsional, yang masing-masing akan mempertanggungjawabkan
fungsinya sendiri-sendiri kelak di hadapan Allah.

Kesempatan untuk saling menolong itu justru ada dan terbuka luas semasa
hidup di dunia. Malahan pernikahan, hubungan suami istri dan hubungan
kekeluargaan diadakan untuk tujuan saling menolong ini. Suami menolong
istri, istri menolong suami, orang tua menolong anak, dan sebaliknya, anak
menolong orang tua. Di sini terjadi interaksi, bahkan interdependensi.

Tolong-menolong itu tidak sebatas pada masalah-masalah duniawi, tapi juga
pada masalah ukhrawi. Dalam hal ibadah, suami istri perlu saling membantu.
Jika istri dalam keadaan lalai, maka suami yang mengingatkan. Sebaliknya,
jika suami yang lalai, maka istri berkewajiban untuk meluruskan. Ada
mekanisme taushiyah yang hidup sepanjang hari. Allah berfirman: "Wahai
orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka."
(QS. At-Tahrim: 6)

Salah satu aspek penjagaan yang tangguh adalah terbangunnya lembaga
taushiyah, di mana suami bisa mengingatkan istri dan istri bisa menegur
suami. Demikian juga orang tua bisa membimbing anak, dan anak bisa berdialog
dengan orang tua.

Lembaga ini mutlak adanya, sebab selamanya manusia tidak pernah ma'shum.
Artinya, peluang untuk berbuat maksiat selalu saja ada. Lembaga taushiyah
harus terus-menerus dibangun dan diperjuangkan oleh semua unsur rumah
tangga. Dengan demikian, teguran ringan sampai teguran yang keras sekalipun
tetap bisa diterima. Bahkan menjadi budaya. Lembaga ini dihormati dan
dijunjung tinggi, sehingga semua unsur yang ada -ayah, ibu, anak- taat asas.
Tidak ada yang membangkang atau tersinggung.

Hadits di atas menggambarkan sebuah keluarga yang di dalamnya telah hidup
lembaga taushiyah, sehingga sampai pada ibadah sunnah atau ibadah tambahan
(nafilah), mereka tetap saling mengingatkan. Jika terhadap yang sunnah saja
mereka bisa saling mengingatkan, apalagi terhadap yang wajib. Jika untuk
membangunkan shalat malam saja mereka bisa sampai memercikkan air ke
wajahnya, apalagi untuk membangunkan shalat shubuh. Tanggung jawab akhirat
ternyata harus dipikul bersama oleh semua unsur keluarga. Meskipun suami
menjadi kepala rumah tangga, tapi istri tidak boleh pasif. Kontrol istri
tetap harus jalan. Semua harus aktif partisipatif dalam membangun kehidupan
dunia dan akhirat.

Keluarga ideal selalu membagi waktu malamnya menjadi tiga bagian. Sepertiga
malam pertama digunakan untuk bercengkerama dengan keluarga, sepertiga malam
kedua dipakai untuk istirahat, tidur, sedang sepertiga malam terakhir
dimanfaatkan untuk menyambung hubungan dengan pencipta-Nya, shalat malam.

Pembagian ini sangat adil, sebab semua kebutuhan bisa terpenuhi. Hak
keluarga bisa diberikan, hak pribadi jalan, dan hak Allah juga
terlaksanakan. Inilah sebuah model kehidupan yang harmonis dan berkeadilan.

Alangkah indahnya rumah tangga seperti ini. Sebuah keluarga yang hidup
bahagia dalam ridha Allah swt.