SAKSI EDISI 23 TAHUN II,
Ayah Idaman, Keluarga Harapan
Seorang utusan Khilafah Utsmaniyah datang menghadap para pembesar
Inggris.
Sang pembesar berkata,Kenapa pimpinanmu bersikeras
membiasakan para
wanita menutup tubuh mereka, membiarkan mereka tetap tinggal di
rumah, dan
bergaul pisah dengan laki-laki. Bukankah itu akan menyebabkan
para wanita
kamu semakin terkebelakang? Sang utusan menjawab,
Karena kaum
wanita kami tidak ingin hamil dan punya anak dengan tanpa
diketahui siapa
bapaknya! Para pembesar Inggris pun terdiam.
Sepenggal kisah di atas mengingatkan kita tentang pentingnya
menjaga
kehormatan wanita dan keluarga. Dan tugas itu terpikul penuh di
pundak seorang
ayah. Tanpa peran kepemimpi-nan seorang ayah, kemuliaan sebuah
bangunan
keluarga akan retak, hancur, dan terburai.
Namun begitu, Islam tidak menginginkan kepemimpinan sang ayah
berujung
kekuasaan semata. Semua harus di tangan ayah. Isteri tidak boleh
memilih
sesuatu tanpa izin ayah. Anak tidak boleh memilih jurusan
sekolah, kecuali ada
rekomendasi sang ayah. Anak gadis yang akan menikah, tidak berhak
menentukan
pilihannya. Kecuali, cocok dengan selera sang ayah.
Kalau sudah begitu, ayah sudah bukan lagi sekedar pemimpin. Ia
sudah jadi
raja. Semua hukum akan bernilai syah di dalam keluarga, jika sang
ayah yang
mengundangkan.
Model kepempinan sang ayah ini sangat jauh beda dengan teladan
Rasulullah
saw. Saat pulang larut malam, beliau tertegun sejenak di depan
pintu rumah.
Beliau membayangkan betapa lelahnya sang isteri menanti. Kantuk
yang
menggelayut ditahan dengan paksa. Namun, ukuran normal manusia
berbicara lain.
Sang isteri mesti tertidur pulas. Ah, betapa kejamnya aku kalau
membangunkannya. Begitulah kira-kira apa yang direnungkan
Rasulullah saw.
Tak heran jika beliau pernah menasihati para sahabat dengan
perkataannya
yang penuh hikmah,Apabila kamu pulang kemalaman,
janganlah mengetuk
pintu (mengganggu) isteri. (HR. Thabrani)
Ada hal yang menarik lain yang selalu dilakukan Rasulullah
sebelum tiba di
rumah. Beliau membersihkan bajunya, merapikannya. Dan, menyisir
rambutnya
dengan rapi.
Ini memberikan pelajaran bagi sang ayah bahwa isteri pun punya
hak.
Pemenuhan hak isteri secara baik adalah pendidikan berharga buat
sang isteri. Ia
akan paham bahwa membayar hak kepada orang lain akan menjadikan
dirinya
mulia. Berharga dan bermartabat.
Namun jika sebaliknya, isteri akan tertekan. Ia bukan saja tidak
terdidik
dengan akhlak yang baik. Justru, terlatih untuk melakukan
pemberontakan.
Sebuah kezhaliman yang terus-menerus diterima seorang isteri dan
anak, tidak
lebih merupakan tabungan kebencian buat seorang ayah. Suatu saat,
isteri dan
anak akan menjadi musuhnya yang paling utama.
Hal inilah yang menjadi di antara sebab kenapa seorang isteri
masa bodo
dengan urusan anak. Ia tidak peduli mau jadi apalah si anak:
maling, copet,
perek, dan kata-kata buruk lain. Kenapa? Karena, ia sendiri pun
tidak pernah
diperhatikan oleh sang suami.
Model kepemimpinan lain juga dicontohkan oleh Nabi Ibrahim a.s.
Setelah
tiga kali mimpi yang sama, sang ayah, Ibrahim, memanggil sang
anak.
Anakku, Ismail. Aku bermimpi bahwa Allah
memerintahkanku untuk menyembelihmu.
Bagaimana pendapatmu?
Subhanallah! Sebuah teladan yang begitu indah yang dicontohkan
buat sang
ayah. Betapa tidak, sebuah perintah yang sudah jelas-jelas
bernilai suci,
tetap saja dikomunikasikan dulu dengan sang anak. Sang ayah,
Ibrahim, begitu
memaklumi bahwa perintah sembelih bukan perkara ringan buat
seorang bocah.
Jangankan sembelih, menyentil telinga Ismail pun belum pernah.
Bagaimana
perasaan sang anak. Harus ada komunikasi. Harus ada saling
kesepahaman. Walaupun,
ia seorang ayah yang punya otoritas terhadap anak.
Dan apa jawaban sang anak, Ayahku, lakukanlah
sebagaimana yang
telah diperintahkan Allah kepadamu. Insya Allah, aku
bersabar!
Keindahan hubungan komunikasi ayah dan anak dalam bingkai taat
pada Allah
ini diabadikan Alquran dalam surah Ash-Shaffaat ayat 102,
“Maka
tatkala anak itu sampai (umur baligh) berusaha bersama Ibrahim,
Ibrahim berkata,
‘Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa
aku
menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?’ Ia
menjawab, ‘Hai bapakku,
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu
akan
mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Teladan Nabi Ibrahim dan Ismail ini mengajarkan sang ayah bahwa
komunikasi
bukan perkara sederhana. Masalah berat apa pun dalam keluarga
akan jadi
mudah jika alur komunikasi lancar. Dan pada sisi ini, argumentasi
adalah tolok
ukur yang lebih kuat. Bukan kekuasaan dan kekuatan posisi.
Sehingga, dari
siapa pun datangnya argumentasi, jika memang itu yang paling
tepat, pendapat
itulah yang jadi keputusan bersama. Walalupun itu datang dari si
bungsu yang
masih balita.
Pelajaran lain yang pernah dicontohkan Rasulullah saw. kepada
para ayah
adalah kemesraan dan kegairahan dengan sang isteri. Bayangkan,
beda usia
antara Rasulullah dengan Aisyah tidak kurang dari tiga puluh lima
tahun. Namun,
kesetaraan dan kemesraan tetap dijaga baginda Rasul. Ia kerap
mengajak sang
isteri berlomba lari, bercanda dengan air, bahkan senantiasa
mengecup kening
saat meninggalkan rumah. Sebuah ungkapan cinta yang tak pernah
diabaikan
Rasul.
Kenapa? Karena kemesraan akan menjaga kegairahan. Dan, kegairahan
akan
senantiasa menghangatkan cinta. Sampai kapan pun.
Kegairahan cinta yang diperoleh sang isteri dari seorang suami
tentu
sangat merembes pada tumbuh kembang anak. Isteri yang senantiasa
akrab dengan
bahasa cinta, akan membahasakannya pula dengan buah hati, anak.
Anak pun melihat dunia dengan damai. Ia tumbuh dalam naungan
cinta. Kelak,
ia akan memandang dunia dengan damai. Dan akan memperlakukan
penghuni bumi
dengan kedamaian dan kecintaan. Inilah awal mula sebuah generasi
segar
lahir, yang senantiasa membawa pencerahan bukan pengrusakan.
Sang ayah yang sukses membangun diri dan keluarganya sebagaimana
teladan
para Rasul tadi, layak menyebut keluarganya dengan,
“Rumahku,
surgaku!” Jika sang ayah gagal dan lari dari teladan
ini, tak ada kata lain
keculi, “Rumahku, nerakaku!”
Semoga, kebanggaan utusan Khalifah Utsmaniyah di atas benar-benar
terbukti
di masyarakat kita. Dan menjadi identitas kita sebagai masyarakat
muslim
teladan. Semoga!
M.Nuh