Istriku. Tidak! Saya tidak sedang ingin bercerita tentang istri saya.
Istriku. Itu adalah salah satu essai Syekh Ali Al-Thantawi yang pernah
saya
baca.
Beliau memang mengatakn bahwa berbicara tentang istri sendiri, bagi
masyarakat Arab, adalah aib besar. Tapi beliau juga memang tidak sedang
ingin memperkenalkan istri beliau. Namun, beliau ingin bercerita tentang
peran universitas dalam pencerdasan wanita dinegerinya dimana menjadi
baik
untuk menjadikan istri beliau sebagai bagian dari perbandingan-perbandingan
sosial.
Nah ceritanya begini. Sebagai dosen hukum, suatu waktu beliau memberikan
kuliah hukum untuk mahasiswi tahun terakhir fakultas hukum univerisitas
Damaskus. Tapi beliau merasa kecewa berat. Karena para mahasiswi itu
tidak
secerads yang beliau duga sebelumnya, tidak seberwawasan yang beliau
duga
sebelumnya, tidak seberpengetahuan yang beliau sangka sebelumnya.
Ternyata perguruan tinggi ini, kata beliau, belum merubah mereka, belum
membuat mereka lebih cerdas, lebih berwawasan dan lebih berpengetahuan
dari
sebelumnya. Itulah masalahnya.
Dan dalam kekecewaan itu, beliau teringat akan istri beliau. Wanita
yang
menjadi istri beliau, bukanlah wanita yang mengenyam pendidikan tinggi.
Bahkan menengah pun tidak. Ia hanya sempat mendapatkan pendidikan dasar.Tapi
sekarang, kenang Syekh Ali Al- Thanthawi, setelah sepuluh tahun menikah
dengan beliau, wanita itu telah menjadi lebih cerdas, lebih berwawasa
dan
lebih berpengetahuan daripada mahasiswi-mahasiswi tahu terakhir fakultas
yang pernah beliau kuliahi itu. Itulah ceritanya.
"Jadi proses pembelajaran yang intens selama sepuluh tahun di rumah
saja,"
kata beliau, ternyata jauh lebih efektif daripada pembelajaran yang
selama
ini berlangsung dengan "keren" di perguruan tinggi. Tidak ada maksud
mengecilkan arti lembaga ini. Beliau hanya ingin mengatakan tentang
makna
pembelajaran yang sesungguhnya, dan bahwa dalam proses pembelajaran
itu
institusi hanyalah merupakan faktor sekunder dan bukan tujuan.
Marilah kita kembali persoalan kita; yaitu situasi pembelajaran para
murobbiyatul aulad yang menghuni rumah-rumah kita. Apakah yang telah
terjadi
pada kecerdasan, wawasan dan pengetahuan mereka setelah resmi memasuki
rumah
anda dan memiliki status sebagai istri?
Saya pikir, sebagian besar kita mungkin lebih beruntung karena mendapat
istri yang telah menjadi sarjana atau minimal pernah mengenyam pendidikan
menengah keatas. Dan itu merupakan kewajiban investasi yang harus dan
telah
dilunasi oleh ortu mereka.
Masalahnya adalah proses pembelajaran itu harus berkelanjutan (long
life
learning, dari buaian hingga liang lahat). Karena itu, kewajiban melakukan
proses pembelajaran itu menjadi tanggungjawab kita sebagai suami.
Dari puluhan acara ceramah dan seminar tentang kewanitaan yang pernah
saya
hadiri, baik sebagai pembicara mauppun sebagai pendengar, saya merasa
aman
untuk menyimpulkan bahwa banyak dari istri-istri kita yang mengalami
masa
paling stagnasi setelah melahirkan. Mereka merasa berhenti berkembang,
karena proses pembelajaran mereka juga berhenti. saya berharap bahwa
saya
tidak sedang memperbesar masalah melebihi kadarnya yang wajar. Tapi
kemudian
saya mulai memahami bahwa ada banyak masalah keluarga dan kendala pendidikan
anak yang disebabkan oleh kualitas istri-istri kita yang memang belum
mumpuni.
Dulu ketika rajin membicarakan bagaimana melahirkan generasi muda yang
Rabbani, kita mungkin melupakan satu hal yang justru menentukan pelaksanaan
cita-cita itu; yaitu investasi yang harus kita bayar berupa budget
pengmbangan SDM murabiyatul aulad yang notabene adalah istri-istri
mita.
Mulai dari penyediaan infrastruktur berupa rumah yang memadai, sarana
pendukung seperti perpustakaan, sampai biaya-biaya kursus dan latihan.
Keluarga dakwah zaman ini menghadapi tantangan yang jauh lebih berat.
Ini
era yg paling memberikan peluang seluas-luasnya bagi pemasaran bentuk
ide
dan gagasan. Dan kalau ada yang dapat dikatakan oleh berbagai bentuk
media
informasi sekarang, barangkali hanyalah ini; "Inilah pasar bagi ide
dan
gagasan anda. Silahkan anda mempromosikan dan menjualnya di sini.
Tidak satu pun diantara kita yang bisa melepaskan diri dari pertarungan
itu
Sejak awal misi dakwah ini adalah membangun peradaban baru bagi umat
manusia. Dan sejak awal pula tabiat tantangan dakwah ini senantiasa
berdimensi peradaban. Inilah perang yang kita hadapi perang peradaban.
Jangan pernah bermimpi untuk membangun keluarga dakwah yang tangguh,
dalam
era dan jenis pertarungan seperti ini, jika dalam keluarga itu tidak
terbangun manusia-manusia berpengetahuan, manusia-manusia yang visioner.
Anak-anak kita kelak akan memasuki usia perguruan tinggi ketika pasar
bebas
Asean (2003) dan Asia-Pasifik (2010) telah dibuka. Dan sekolah dan
perguruan
tinggi asing akan bermunculan di negeri kita.
Kalau ada kebutuhan dasar yang sangat dibutuhkan oleh keluarga dakwah
zaman
ini, barangkali itu adalah ini: kemampuan dasar untuk memahami, memilih
dan
mencipta. Dan kalau ada kesiapan-kesiapan dasar yang harus ada dalam
keluarga dakwah, mungkin ini: kesiapan dasar untuk belajar, untuk berubah
dan berkembang, untuk menjadi lebih baik.
Itulah sebabnya kita perlu mengukuhkan semangat pembelajaran dalam keluarga
kita. Dan istri kita harus mendapat porsi yang lebih besar. Karena
anak-anak
kita tumbuh lebih banyak dalam asuhan mereka. Dan untuk itu kita perlu
menyediakan budget yang memadai bagi investasi pendidikan itu. Karena
ketersediaan budget itu bagian lain dari isyarat: keseriuasan.
Sekarang saya mulai mengerti mengapa dulu Rasulullah SAW bersabda:"Rezeki
itu datang dari dua puluh pintu. Sembilan belas pintu utk pedagang,
dan
hanya pintu utk mereka yg memiliki ketrampilan tangan."
Oh, iya kita kembali lagi ke persoalan istri-istri kita. Istri saya
sendiri
mungkin lebih beruntung dari istri Syekh Ali Al-Thantawi, karena sempat
menyelesaikan pendidikan tingginya. Tapi saya kurang tahu apakah ia
akan
menjadi lebih baik setelah usia kesepuluh nanti dari perkawinan kami.
Dan
saya akan menulis kembali sebuah makalah kecil dengan judul "Istriku"
"Dan antum sendiri! Istri antum bagaimana? Bisnis antumlah itu!"