Menjadi Sahabat Bagi Pasangan Hidup

Pada waktu baru menikah, Yanuar merasa senang bila mengajak Hani,
istrinya, bicara. Cara Hani mendengarkan dengan penuh perhatian membuat
Yanuar boleh betah berlama-lama bicara dengan Hani. Lima tahun kemudian
ketika mereka sudah dikarunia dua orang jundi yang lucu, segalanya
terasa berubah bagi Yanuar. Ketika Yanuar mengajaknya bicara, yang terjadi
justru Hani yang kemudian bicara panjang lebar soal urusan rumah tangga mereka
tanpa memberi kesempatan Yanuar bicara. Padahal sebetulnya, Yanuarlah
yang gatal kepingin bicara. Semenjak itu Yanuar jadi malas bicara dengan Hani.

Lain lagi bagi Nadia. Belakangan ini Nadia sering kesal dengan Arman,
suaminya. "Habis maunya dia, sayalah yang harus menyenangkan dia terus
menerus sebagai istri yang taat kepada suami. Memasakkan nasi goreng,
memijitkan kaki yang capek, dan macam-macam lagi. Dia tidak seperti dulu
lagi. Sekarang Mas Arman seolah tidak mau tahu kalau saya butuh
disenangkan, "gerutu Nadia. Toh Nadia cuma mengeluh tanpa ada
penyelesaian. "Kalau dia memang suami yang baik, mestinya dia `kan tahu
apa yang saya perlukan," kilah Nadia.

Setelah sekian lama berumah tangga, baik Yanuar maupun Nadia tiba-tiba
seperti tersadar bahwa ternyata pasangan hidup mereka tidak sesuai
dengan gambaran ideal yang dulu pernah didambakan. Manisnya kehidupan rumah
tangga di awal pernikahan mulai luntur seiring dengan berjalannya waktu
dan makin beragamnya problema rumah tangga. Mulai dari masalah
pekerjaan, pengaturan keuangan, anak yang nakal atau sakit, dan sebagainya.
Walhasil perhatian terhadap pasangan menjadi berkurang. tanpa disadari perasaan
cinta mengalami degradasi menjadi prioritas kesekian dalam kehidupan
rumah tangga seiring meningkatnya irama kerja dan kebutuhan rumah tangga.
Kehidupan rumah tangga menjadi kering dan terjebak dalam rutinitas yang
membosankan tanpa makna. Apalagi ketika salah satu pihak merasa
terabaikan. "Kok, saya terus yang menyenangkan dia, ya? Atau kalau saja
Hani punya sedikit waktu dan kesabaran untuk mendengarkan saya."

Perasaan seperti itu bila terus dibiarkan tanpa ada penyelesaian, tidak
mustahil bisa menggerogoti keharmonisan rumah tangga, tak terkecuali
rumah tangga pasangan Muslim yang sejak awal mempunyai komitmen bersama untuk
membentuk keluarga sakinah ma waddah wa rahmah. Mengingat hal tersebut
adalah sesuatu hal yang manusiawi. Meski begitu hendaknya kita mesti
waspada terhadap kerikil-kerikil yang bertebaran atau awan kelabu yang
harus disibakkan dalam perjalanan mengarungi bahtera rumah tangga. Lalu
apa yang sebaiknya dilakukan bila kita berada dalam situasi yang tidak
menyenangkan dalam kehidupan perkawinan?

Berpikir realitas

Semua orang menginginkan agar bisa bahagia dalam pernikahan yang
diharapkannya berlangsung sekali saja seumur hidup hingga tua nantinya.
Ketika dua pribadi yang berbeda disatukan dalam satu ikatan pernikahan
yang disebut sebagai mitsaqan ghalizha atau perjanjian yang kokoh, maka
kepada dua pribadi tersebut ditimpakan suatu amanah yang akan dimintai
pertanggungjawabannya di akherat kelak. Kepada suami istri juga
merupakan kewajiban bersama untuk menjaga dan memupuk kasih sayang dalam rumah
tangga agar bisa berlangsung harmonis dan langgeng.

Adalah wajar apabila masing-masing pihak menaruh harapan besar kepada
pasangannya, karena sebelumnya telah meyakini untuk memilihnya sebagai
pendamping hidup. Namun seiring dengan waktu, semakin hari semakin
mengenali kekurangan dan kelemahan pasangan, disamping
kelebihan-kelebihan yang dimilikinya, karena memang di dunia ini tidak ada manusia yang
sempurna.

Meski begitu, tak urung terjadi kekecewaan-kekecewaan karena adanya
kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Dan terjadilah masalah. Dalam
batas yang masih bisa ditoleransi, dalam arti bukan merupakan
pertentangan yang prinsip, memang diperlukan suatu kesabaran, kedewasaan, serta
kelapangan hati untuk berpikir realistis dan berusaha menerima pasangan
kita sebagaimana dia adanya. Sedikit demi sedikit membenahi hal-hal yang
bisa diubah dengan kerelaan hati, tetapi juga berusaha menerima
kekurangan-kekurangan yang memang tak dapat kita ubah.

Menjalin komunikasi

Suatu perubahan yang kita inginkan dan kita harapkan sebenarnya tidak
akan terlalu sulit apabila segala sesuatu bisa kita komunikasikan dengan
pasangan hidup kita. Pernikahan harus dipertahankan dengan komunikasi.
Karena dengan komunikasi kita dapat mengetahui apa yang didinginkan dan
yang tidak diinginkan oleh pasangan.

Tak sedikit suami atau istri yang mengeluh, tidak tahu persis apa yang
diinginkan oleh pasangannya. Pihak istri mengharap suami tahu sendiri
keinginan istri, sementara sumi menginginkan istri memenuhi keinginan
suami tanpa harus diminta. Kehidupan perkawinan diisi dengan permainan
tebak-tebakan dan menghabiskan waktu.

Hambatan dalam komunikasi biasanya memudahkan munculnya suatu konflik.
Sebabnya setiap ganjalan di hati pasangan tidak segera diselesaikan
tetapi hanya ditebak-tebak sehingga mudah pula timbul prasangka buruk. Masalah
sederhana menjadi lebih berat lagi untuk kemudian menjadi bom waktu yang
memicu pertengkaran. harapan tinggi yang tak pernah disampaikan tidak
akan mendapat respon apa-apa karena memang pasangannya tidak seperti yang
diharapkan. Timbullah pikiran-pikiran negatif.

Dialog yang Bersahabat

Sesungguhnya kebahagiaan rumah tangga adalah sisi kebahagiaan terpenting
dalam kehidupan manusia. Anggota keluarga khususnya pasangan hidup
sebagai orang yang paling dekat dengan kita adalah manusia yang paling berhak
diperlakukan dengan ma'ruf. Allah swt berfirman dalam surah An Nisa' ayat 19:
"Dan bergaullah dengan mereka dengan cara yang ma'ruf."
Ma'ruf adalah setiap pemberi sikap yang baik yang diajarkan oleh agama dan akal. Salah
satu perwujudan dari ma'ruf adalah mengupayakan dialog yang bersahabat
dalam menyelesaikan segala persoalan kehidupan rumah tangga.

Dialog yang bersahabat adalah percakapn yang mengesankan antara sumi
istri untuk berbagi pengalaman, pikiran, dan perasaan dalam konteks
pembicaraan yang ramah, penuh kejujuran, dan keterbukaan. Masing-masing pihak saling
mendengarkan dengan intonasi bicara selalu tenang dan terjaga tanpa ada
tarikan suara emosional yang meninggi atau meledak-ledak, serta tak ada
niat untuk menghakimi atau mengecilkan harga diri satu sama lain.

Sulitkah menciptakan percakapan yang mengesankan? Sebelumnya kita perlu
mencari timing atau waktu untuk sebuah pembicaraan yang kita inginkan.
Jika pasangan sedang sibuk bekerja, lebih baik tunggu sebentar atau
mencari kesempatan lain. Demikian pula bila pasangan baru pulang dengan
wajah letih dan murung, lebih baik tunggu sampai rileks kembali. Paling
tidak diperlukan seminggu sekali untuk saling mencurahkan isi hati atau
setiap kali muncul masalah atau ganjalan-ganjalan. Makin cepat masalah
diselesaikan dalam arti tidak menunda-nunda, akan makin baik hasilnya.

Pada prinsipnya, percakapan dapat dimulai dari mana saja serta bisa
merupakan obrolan ringan seperti membicarakan kejadian yang dialami di
kantor, menanyakan keadaan pasangan, dan sebagainya. Dari percakapan
sederhana kemudian bergulir pada masalah yang terjadi di keluarga,
harapan, dan pandangan masing-masing, ungkapan keinginan bersama tentang
hobi, pendidikan anak, peningkatan ekonomi, hubungan sosial, hingga
hubungan suami istri.

Mendengar aktif untuk memahami pasangan

Mendengar aktif adalah kesediaan untuk mendengar dan memahami secara
tulus apa yang dikatakan lawan bicaranya serta memberi respon atau reaksi
sesuai yang dibutuhkan. Baik istri maupun suami harus belajar menyatakan
keinginannya secara jelas. Dalam hal ini ketrampilan komunikasi memang
dipengaruhi oleh karakteristik bawaan seperti sifat pendiam atau pasif
dan pola kebiasaan yang sering dilakukan. Ada orang yang sejak kecil
terbiasa berkomunikasi terbuka dengan orang tuanya. Tapi ada juga yang selalu
menyimpan sendiri permasalahannya. Untuk itu masing-masing pihak harus
mencoba memahami karakter pasangannya. Siapa saja yang berkepentingan
lebih dulu hendaknya mencoba memulai percakapan. Kalau perlu dengan
melontarkan pertanyaan-pertanyaan pancingan.

Untuk mendukung proses mendengar aktif, perlu diciptakan suasana
emosional yang aman untuk berbagi perasaan dengan bersikap terbuka, siap menerima,
mendukung, dan menanggapi. Pada kebanyakan wanita, seringkali mereka
bercerita bukan lantaran ingin dinasehati, tapi sekadar meringankan hati
untuk menumpahkan kekesalannya atau permasalahannya. Hal ini perlu
diketahui oleh para suami mengingat bagi pria, percakapan adalah sarana
untuk mengenali masalah, mendiskusikan pro dan kontranya, lalu menemukan
jalan keluarnya. Padahal bagi wanita, pendengar yang baik jauh lebih
berharga daripada segudang nasihat dan jalan keluar. Untuk itu menjadi
pendengar yang baik memang diperlukan kemauan dan kesabaran.

Sedangkan pada kebanyakan pria, topik utama pembicaraan mereka adalah
pekerjaan sehingga mereka sering menilai dirinya dari pekerjaan dan
prestasinya. Dengan berbicara tentang pekerjaan pula mereka
mengungkapkan perasaannya. Apabila seseorang pria mengeluh tentang kesulitan yang
tengah ia hadapi di tempat kerjanya, besar kemungkinan sebenarnya ia sedang
mengeluh. "Saya khawatir apakah saya mampu berkompetisi. Saya khawatir
orang tidak akan menghargai saya lagi. Lalu bagaimana sikapmu nanti?
Apakah kamu akan menghilangkan penghargaanmu terhadap saya?" (Tuti
Handaya,SKM)