Zainab binti Hadiir, bunga Tamim yang tak mengecewakan
 
Sumber: Ummi No. 6/VIII Tahun 1417 H/1996

Apa yang kau senangi akan kulaksanakan, dan apa yang tidak kau sukai akan
kujauhi.

Betapa bahagianya seorang suami jika perkataan itu diucapkan oleh istrinya.
Perkataan yang memuat ketaatan dan menjunjung tinggi keqawwaman suami.
Siapakah lelaki yang beruntung itu?
"Aku, Syarih Al-Qadhi, seorang hakim di masa tabi'in."
Dan siapakah wanita yang begitu agung prilakunya itu?
"Dia adalah isteriku: Zainab binti Hadiir, seorang turunan suku Tamin."
Pada suatu hari, ketika aku ikut mengantar pemakaman jenazah, kami melewati
perkampungan Bani Tamim. Tampak olehku ada seorang perempuan tua duduk
santai di hadapan seorang gadis. Sikap gadis itu tampak begitu hormat.
"Siapakah gadis itu?" tanyaku pada sang perempuan tua itu.
"Dia anakku."
"Apakah dia sudah dalam kesibukan rumah tangga?" tanyaku lagi.
"Belum."
Mendengar jawaban itu aku meminta ijin agar gadis itu menjadi isteriku.
Tapi, sang ibu menyerankan agar aku melamar pada paman si gadis itu, karena
ayahnya sudah tiada.
"Bolehlah......Kalau memang sekufu' dan ada jodoh, paman gadis ini, Insya
Allah, tidak akan keberatan. Temulaih dia."
Ditemani Masruq dan Abu Burdah, kutemui paman gadis itu. Kami ditanyai
tentang keperluan kami. Kuutarakan maksud kedatangan kami bahwa aku hendak
minta ijin menikahi keponakannya. Ternyata lamaranku diterima!
Alhamdulillah.
Tak lama kami pun menikah. Kubawa isteriku ke kota di mana aku bertugas
sebagai hakim.
Di malam pertama, seperti yang disunnahkan Nabi, kujalankan shalat sunnah
dua raka'at. Tanpa pemberitahuan ternyata isteriku pun ikut menjadi makmum
di belakangku. Kusentuh keningnya seraya kuberdoa kepada Allah SWT, kupinta
segala kebaikan yang dimiliki isteriku dan aku memohon perlindungan atas
keburukan yang ada padanya.
Setelah itu kudekati dia. Kuulurkan kedua tanganku kepadanya. Tetapi dia
berkata, "Jangan tergesa-gesa, wahai suamiku, santailah..."
"Sesungguhnya di kaummu terdapat wanita untukmu, juga di tempat asalku
terdapat hal yang sama. Tetapi Allah telah menetapkan sesuatu hal tak ada
yang dapat menolaknya. Kau telah memiliki sesuatu, maka lakukanlah
sebagaimana telah Allah perintahkan kepadamu. Wahai suamiku, saya telah
mengatakan ini kepadamu. Kepada Allah saya memohon ampunan untukmu dan
untukku sendiri."
Sungguh kejadian itu sangat menarik. Demi Allah, saya akhirnya merasa perlu
untuk "berkhutbah" menyampaikan kata-kata seperti yang dia ucapkan.
Kukatakan, Alhamdulillah, kami memohon pertolongan-Mu, shalawat kami
sampaikan kepada Nabi dan keluarga beliau. Wahai Zainab, engkau telah
mengatakan suatu perkataan yang bila engkau teguh memegangnya maka
benar-benar akan menjadi nasibmu; dan bila engkau meninggalkannya, itu telah
menjadi alasan bagimu. Ya Zainab, saya menyukai itu dan tidak menyukai yang
ini. Kita adalah sama, karena itu jangan terdapat kekhawatiran dalam
kalbumu.
Lantas kulanjutkan, kalau engkau melihat hal yang baik, maka sebarkanlah,
tetapi bila engkau lihat sesuatu yang buruk, maka tutupilah.
Zainab bertanya, "Wahai suamiku, sukakah engkau bersilaturrahmi ke tempat
family?"
Saya tidak suka dijauhi oleh ipar-iparku, wahai Zainab, jawabku.
"Siapakah tetanggamu yang tak suka kau ijinkan masuk rumah dan yang kau
ijinkan? Siapa pula yang harus kita dekati dan jauhi?" tanya Zainab penuh
ingin tahu selengkap-lengkapnya mengenai diriku ini.
Warga masyarakat ini terkenal shalih sedang warga yang sana amat jelek
perangainya, jelasku.
Begitulah yang terjadi. Isteriku terus bertanya apa-apa yang patut untuk
diketahuinya. Sehingga ia dapat bertindak dan berbuat sebagaimana harapanku
dan keinginannya. Dan bisa menghindari hal-hal yang tidak kusukai.
Sejak itu hari-hari kami benar-benar indah. Di mataku hari ini penampilan
Zainab adalah yang lebih baik dari hari kemarin. Sehingga apa yang
dipesankan Ibu Zainab kepadaku, praktis itu tidak pernah terjadi.
"Menantuku, dengarkan nasihat ibu. Sesungguhnya tidak ada wanita yang lebih
jelek sifatnya kecuali dia dalam dua hal, yaitu jika ia melahirkan seorang
anak tetapi tidak mampu mendidiknya dan ia senantiasa menyakiti hati
suaminya. Karena itu kalau engkau lihat pada diri anakku ada sesuatu yang
mengecewakan hatimu, cambuklah ia! Demi Allah, lelaki tidak mendapat suatu
bahaya dalam rumahnya kecuali karena wanita yang berani kepada suami dan
bersikap kolokan."
Sungguh aku bersyukur kepada Allah SWT yang telah memberiku berkah dengan
isteri yang shalihah. Aku bangga mendapatkannya. Selama hidup bersamanya aku
tidak pernah marah. Ya, karena ia tidak pernah berbuat yang salah. Kecuali,
hanya sekali!
Sudah menjadi kebiasaanku untuk menunaikan shalat di masjid secara
berjamaah. Begitu juga hari itu. Aku bergegas karena iqamah telah
dikumandangkan. Tiba-tiba kulihat seekor kalajengking. Biasanya hewan itu
langsung kubunuh, tapi kali ini tak sempat. Agar tidak lari, kututup dengan
mangkok. Kupesankan isteriku untuk tidak membuka mangkok itu. Ternyata itu
membuat ia penasaran. Karena tidak bisa menahan rasa ingin tahunya,
dibukanya mangkok itu. Dan keluarlah kalajengking itu seraya menyengat
tangan Zainab.
Tentu saja aku terkejut setiba di rumah mendapati isteriku itu
terguling-guling di lantai seraya meringis kesakitan. Itulah peristiwanya.
Cukup sekali saja Zainab menyalahi dan melanggar perintahku, suaminya.